Pertumbuhan Ekonomi, Commodity boom, Posisi Utang Pemerintah Dan Utang Luar Negeri, Pengangguran Dan Kemiskinan
Pertumbuhan Ekonomi
1. Pertumbuhan Ekonomi Sampai Triwulan III/2014 Masih Melambat
Sejak tahun 2012, pertumbuhan ekonomi terus melambat. Pertumbuhan ekonomi melambat menjadi 5,8 persen pada tahun 2013 dan 5,1 persen dalam tiga triwulan pertama tahun 2014.
Dari sisi produksi, dalam tiga triwulan pertama tahun 2014, perlambatan hampir terjadi pada semua sektor terutama pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, serta perdagangan, hotel, dan restoran yang masing-masing turun 0,1 persen serta melambat menjadi 4,9 persen dan 4,5 persen (y-o-y).
Dari sisi penggunaan, perlambatan ekonomi terutama disebabkan oleh turunnya ekspor riil barang dan jasa. Ekspor riil barang dan jasa dalam tiga triwulan pertama tahun 2014 turun 0,6 persen. Konsumsi rumah tangga masih tumbuh tinggi (5,5 persen, y-o-y). Sedangkan investasi dan pengeluaran pemerintah tumbuh relatif rendah, yaitu masing-masing 5,0 persen dan 2,4 persen (y-o-y).
Dilihat dari sumbangannya, pertumbuhan ekonomi dalam tiga triwulan pertama tahun 2014 didukung oleh permintaan dalam negeri dan luar negeri masing-masing sebesar 4,2 persen dan 0,9 persen.
Secara rinci, pertumbuhan ekonomi dalam tiga triwulan pertama tahun 2014 disumbang oleh konsumsi rumah tangga (3,0 persen), konsumsi pemerintah (0,2 persen), investasi (1,2 persen), perubahan stok (0,6 persen), diskrepansi statistik (- 0,8 persen), ekspor barang dan jasa (-0,3 persen), serta impor barang dan jasa (1,2 persen).
Commodity boom yang terjadi sejak tahun 2004 hingga tahun 2012 (tidak termasuk tahun 2009 karena krisis keuangan dan resesi global) berperan besar pada ekonomi Indonesia baik pada keseimbangan eksternal perekonomian, pertumbuhan ekonomi, maupun kemampuan negara untuk membiayai pembangunan.
Berakhirnya era commodity boom menuntut reformasi struktural yang mampu melepaskan ketergantungan ekonomi pada komoditi. commodity boom dan perekonomian Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut:
Posisi utang pemerintah pada bulan Desember 2014 tercatat sebesar Rp 2.605 triliun, terdiri dari pinjaman sebesar Rp 674 triliun dan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 1.931 triliun. Peranan pinjaman luar negeri dalam pembiayaan pem-bangunan terus berkurang dengan diprioritaskannya sumber pembiayaan terutama dari dalam negeri.
Posisi utang luar negeri pada bulan November 2014 mencapai USD 294,4 miliar, terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar USD 133,9 miliar dan utang swasta sebesar USD 160,5 miliar.
Utang luar negeri swasta melebihi utang luar negeri pemerintah sejak awal tahun 2013 dengan kecenderungan yang meningkat. Rasio utang luar negeri terhadap PDB meningkat dari 26,4 persen pada tahun 2011 menjadi 30,5 persen pada tahun 2013.
1. Pengangguran terbuka menurun
Jumlah angkatan kerja pada bulan Agustus 2014 meningkat menjadi 121,9 juta orang atau bertambah 1,42 juta orang dari tahun 2013. Sementara itu lapangan kerja yang tercipta dalam periode yang sama sebanyak 1,87 juta. Dengan perkembangan ini, pengangguran terbuka berkurang sebanyak 170 ribu sehingga tingkat pengangguran terbuka menurun dari 6,2 persen pada bulan Agustus 2013 menjadi 5,9 persen pada bulan Agustus 2014.
Kemampuan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja tahun 2014 membaik menjadi menjadi 356 ribu per 1 persen pertumbuhan ekonomi.
2. Tingkat kemiskinan September 2014 turun menjadi 11,0 persen.
Kenaikan harga BBM bulan Juli 2013 meningkatkan jumlah penduduk miskin dari 28,1 juta orang pada bulan Maret 2013 menjadi 28,3 juta orang pada bulan Maret 2014. Adapun tingkat kemiskinannya turun dari 11,4 persen menjadi 11,3 persen pada periode yang sama.
Berdasarkan hasil Susenas September 2014, jumlah penduduk miskin pada bulan September 2014 turun menjadi 27,7 juta orang (11,0 persen) atau berkurang 824 ribu orang dibandingkan periode yang sama tahun 2013. Kemiskinan hasil Susenas Maret 2014 dan September 2014 didasarkan garis kemiskinan sebesar Rp 302,7 ribu/kapita/bulan dan Rp 312,3 ribu/kapita/bulan.
Dengan demikian dalam lima tahun terakhir jumlah penduduk miskin dapat dikurangi sebesar 4,8 juta orang dan tingkat kemiskinan dapat diturunkan sebesar 3,1 percentage point menjadi 11,0 persen.
Ketimpangan pendapatan meningkat dalam 10 tahun terakhir namun belum pada taraf yang mengkuatirkan. Gini rasio meningkat dari 0,32 pada tahun 2004 menjadi 0,41 pada tahun 2011 hingga 2013. Dalam periode 2004 – 2013, penguasaaan 20 persen penduduk berpendapatan tertinggi meningkat dari 42,1 persen menjadi 49,0 persen; sedangkan 40 persen penduduk berpendapatan terendah menurun dari 20,8 persen menjadi 16,9 persen.
Penurunan juga terjadi pada penduduk berpendapatan menengah. Perkembangan distribusi pendapatan tahun 2002 – 2013 dapat dilihat pada Grafik berikut :
Angka Gini ratio sebesar 0,41 belum pada taraf yang mengkuatirkan. Dibandingkan dengan Cina, Amerika Serikat, dan Malaysia, Gini ratio Indonesia tidak terlalu buruk. Dari perbandingan internasional, ketimpangan pendapatan paling tinggi dapat ditemukan di kawasan Afrika (0,6 – 0,7) dan paling rendah di kawasan Eropa (0,2 – 0,3) terkait dengan sistem ekonomi yang dianutnya.
Meski demikian, angka Gini ratio pada negara berkembang, termasuk Indonesia, berpotensi di bawah tingkat yang sebenarnya (underestimate) karena pengukurannya yang didekati oleh konsumsi masyarakat. Berbagai riset mengindikasikan Gini rasio yang diukur dari konsumsi underestimate dari pendapatannya sekitar 6 – 8 persen. Ketimpangan pendapatan ini perlu mendapat perhatian yang serius bagi keberlanjutyan pembangunan mendatang. Perkembangan distribusi pendapatan provinsi dapat dilihat pada Tabel berikut ini:
Dalam triwulan IV/2014, pertumbuhan ekonomi diperkirakan lebih lambat dari triwulan III/2014. Dalam keseluruhan tahun 2014, PDB diperkirakan tumbuh 5,0 persen (tahun dasar 2000).