Kisah Inspirasi. Dari sekian banyak orang yang berani bermimpi, perempuan muda ini salah satu insan yang berani mewujudkannya. Bahkan kini ia membagi hidupnya agar anak-anak petani dan TKI di desa berani melihat dunia melalui pendidikan.
Saya yakin Tuhan punya alasan mengapa saya yang menjadi sarjana pertama dari kampung kami," kata Heni Sri Sundani (31) ketika Intisari mengunjungi kediamannya di Caringin, Bogor. Ya, sebuah kampung kecil bernama Desa Beber, empat jam perjalanan dari Ciamis. Kampung tempat Heni dan neneknya yang dipanggil Emak tinggal bersama. Hari demi hari menyambung kehidupan dengan berjualan kayu bakar.
Bagi Heni dan warga kampungnya, pendidikan di sekolah adalah barang mewah yang untuk mendapatkannya butuh perjuangan. Dan lagi, di kampungnya, anak-anak tidak diarahkan untuk sekolah, tetapi menikah. Sebagian anak tidak sekolah karena harus membantu orangtuanya di ladang.
"Teman-teman saya yang berusia 15 tahun bahkan sudah jadi janda dua kali, sebagian lagi sudah memiliki banyak anak di usia sangat belia," kata Heni prihatin.
Fenomena ini yang membuat Heni merenung, mengapa orang-orang di kampungnya berpikiran seperti itu. Hingga pada suatu waktu ia menyadari bahwa keadaan itu terjadi gara-gara kebanyakan dari mereka tidak sekolah.
"Aku takut jadi seperti ibu, nenek, dan teman-teman yang hidupnya sama sekali tidak berubah karena tidak sekolah," lanjut perempuan yang aktif berkeliling Indonesia dalam pembinaan kelompok perempuan TKI. Inilah yang membulatkan tekadnya untuk mengejar pendidikan bagaimanapun caranya.
Ketika ia menceritakan keinginannya kepada orang-orang, mereka sangsi. Bagaimana mau sekolah tinggi kalau makan saja tak punya uang. Bagi mereka, orang kampung yang miskin tidak pantas untuk sekolah tinggi dan memiliki cita-cita.
Semua itu tidak melunturkan keinginan Heni kecil untuk terus sekolah. Ia tahu, jalan utama untuk meraih cita-citanya menjadi guru dan mengubah hidupnya adalah dengan tetap sekolah.
"Ketika SD, berangkat ke sekolah harus pagi-pagi buta, sebab harus berjalan kaki selama satu jam dari rumah. Saat SMP bahkan dua jam," kenang Heni memulai kisahnya. Perjuangan ini diteruskan Heni, karena ia cinta belajar dan memiliki cita-cita.
"Saya tidak punya uang untuk jajan seperti anak-anak lainnya, akhirnyawaktu istirahat dipakai untuk membaca di gudang bekas perpustakaan," kata Heni. Pengalaman membaca ini yang kemudian membuka cakrawala berpikir Heni menjadi lebih maju dibanding anak-anak lain seusianya.
Untuk melanjutkan sekolah ke SMP saja sudah ngos-ngosan, raampukah ke jenjang yang lebih tinggi? Berbekal tekad dan nekat, Heni berhasil melanjutkan pendidikan SMK Akuntansi sembari mencari uang untuk membiayai sendiri sekolah-nya. Mulai dari berjualan, jasa ketik, dll. Semua dilakoninya untuk bisa menyelesaikan pendidikan.
Tetapi kemudian jalan buntu untuk mencapai cita-cita mengadang di depan mata. Biaya tak ada, tidak mungkin bisa lanjut ke perguruan tinggi. Sedangkan untuk menjadi guru, profesi yang dicita-citakan Heni, ia harus menjadi sarjana. "Akhirnya saya mengambil keputusan menjadi TKI dengan prinsip pergi jadi TKI, pulang harus jadi sarjana," tegasnya.
Diejek majikan
Demi mengumpulkan dana untuk kuliah dan meraih cita-cita, Heni bekerja sebagai baby sitter keluarga Chan, di Tin Shui Wai.Hong Kong. Walau sempat ditentang ibu dan neneknya, Heni kekeuh. Suatu hari, setelah setahun bekerja, Heni mendapat informasi mengenai perkuliahan jarak jauh melalui iklan di surat kabar. Ia segera mendaftar dan menjadi mahasiswa dengan uang yang sudah terkumpul sedikit.
Bekerja menjadi TKI di negeri orang sekaligus juga menjadi mahasiswa sangat tidak mudah untuk dijalani. Apalagi ia melakukannya diam-diam tanpa sepengetahuan majikan.
"Suatu kali aku kepergok majikan sedang membaca koran di sela waktu istirahat, majikan mengejek dengan perkataan yang menyakitkan hati," katanya berkaca-kaca. Majikannya menilai seorang pembantu tidak perlu membaca buku, yang penting harus bekerja dengan baik.
Tanpa sepengetahuan majikan, ia menghabiskan waktu libur dengan kuliah dan belajar di perpustakaan umum di Hong Kong. Kebiasaan membaca membuatnya lihai menulis.
Ia mulai mengirimkan tulisan-tulisannya ke koran, majalah, atau tabloid berbahasa Indonesia di Hong Kong. Honor menulis itu dijadikan biaya tambahan untuk kuliah. Termasuk juga untuk membeli buku. Kecintaannya pada buku membuatnya memiliki lebih dari 3.000 koleksi buku selama enam tahun di Hong Kong.
Heni juga aktif berorganisasi di sela-sela kesibukannya bekerja. Dari organisasi dan banyak membaca itu akhirnya ia tahu bahwa majikannya sudah memperdayanya. Ia dibohongi soal penggajian dan kon-trak kerja. Ini yang membuatnya tergerak untuk mengedukasi sesama TKI mengenai kontrak kerja dan hak-hak TKI.
Lebih lega lagi ketika ia bekerja di majikan yang kedua, majikan yang sangat baik dan mendukung kuliahnya. Tadinya ia menerima pendidikan diploma, tahun 2011 ia melanjutkan kuliah di Saint Mary's University Hong Kong, jurusan Bisnis Manajemen Wirausaha. Dukungan majikan yang sangat baik dan toleran membuat Heni dapat belajar dan sangat produktif menulis. Tulisan-tulisannya dipublikasikan dalam buku dan media Hong Kong.
Pencapaian Heni ini tidak membuatnya lupa diri. Ia juga ingin membagi ilmunya pada sesama TKI di Hong Kong. "Saya mengajari teman-teman TKI pelajaran paket kesetaraan, bahasa asing, dan komputer," tuturnya. Ia juga rutin membawa buku-bukunya di perkumpulan TKI untuk dipelajari bersama.
"Saya rindu teman-teman TKI berubah pandangannya setelah membaca buku, lalu menyerap budayabaik dari orang-orang sukses di Hong Kong," ujar Heni. Ia pun mendorong sahabat-sahabat sejawat di sana agar jangan puas hanya menjadi TKI seumur hidup. Sebab bagi Heni, semua orangber-hak memiliki impian untuk diraih.
Sarjana pulang kampung
"Mak, Alhamdulillah Neng sudah jadi sarjana, hari ini Neng di wisuda, terima kasih untuk doanya," kata Heni menelepon neneknya yang dipanggi Emak itu. Ia bahagia kini cita-citanya menjadi sarjana sudah tercapai. Sungguh iaberharap hal ini juga membahagiakan keluarganya. "Sarjana itu apa Neng? suara perempuan tua berbahasa Sunda menjawab di ujung telepon.
Heni tak kuasa membendung air matanya, kemudian menjelaskan pada nenek yang merawatnya sejak kecil itu, bahwa sarjana itu seperti insinyur atau guru. Maklum, nenek Heni hanya mengenal kata guru dan insinyur. Mendengar penjelasan Heni, terdengar isakan tangis di ujung telepon. Neneknya terharu mendapati cucunya akhirnya berhasil meraih cita-cita yang sering diucapkannya sejak kecil.
"Pada saat itu Emak menanyakan kapan saya pulang dan menjadi guru untuk anak-anak di kampung, pertanyaan itu membuatku mantap untuk kembali ke kampung," katanya. Walaupun lapangan pekerjaan dan karier cemerlang lebih terbuka di Hong Kong, istri dari Aditia ini tak melupakan tujuannya sejak awal: menjadi sarjana dan guru.
Ketika pulang, tak ada yang ber-ubah di kampung Heni, semuanya masih sama. Yang berubah adalah semua orang di sana bertambah usia, tetapi hidupnya tidak berubah menjadi lebih baik.
"Saya membuka perpustakaan di rumah orangtua berbekal buku-buku yang saya punya," katanya. Tujuannya agar anak-anak buruh tani dapat belajar membaca di situ. Rumah Heni dijadikan tempat belajar, mengerjakan PR, bermain, dan belajar komputer gratis.
Anak petani cerdas
"Suatu kali ketika membesuk keluarga dari bibi yang bantu-bantu di rumah, saya dan suami tertegun melihat keadaan warga di perkam-pungan di sekitar perumahan," kata Heni menceritakan awal mula peng-abdiannya pada masyarakat perkam-pungan. Setelah menikah Heni memang tinggal di Bogor. Ia menjadi guru di sebuah sekolah swasta.
Heni bercerita, sebagian besar warga kampung hidup tidak layak. Rata-rata warga bekerja sebagai asisten rumah tangga, sebagian lagi buruh tani dan buruh kasar dengan upah murah. Lingkungan mereka tak terawat sehingga banyak anak sakit kulit. "Mereka bahkan tinggal di rumah kecil yang dihuni oleh dua hingga tiga keluarga," kata Heni prihatin.
Anak-anak kampung yang kebanyakan tidak bersekolah itu mengingatkan Heni pada kisah masa kecilnya. Inilah yang membikin hatinya terenyuh. Setelah berdis-kusi dengan suaminya, mereka memutuskan untuk melakukan sesuatu bagi anak-anak buruh tani miskin di kampung Sasak. Uang mereka tak punya, namun ilmu ada. Mereka memutuskan untuk berbagi ilmu dengan mengajar anak-anak warga kampung.
Dimulailah petualangan bam itu. Anak-anak petani berkumpul di rumah mereka yang kecil untuk belajar bersama. Yang tadinya muridnya hanya 15 orang dari warga kampung Sasak, seiring waktu bertambah banyak hingga rumah kecil mereka tidak cukup menampung.
Hingga akhirnya seorang ustaz mengizinkan mereka untuk memakai gedung musala di kawasan perumahan untuk belajar. Setiap pekan, Heni dan suaminya mengajar sekitar 100 anak dari beberapa kampung di sekitar kampung Sasak.
"Kami menerapkan metode fun learning by doing, anak-anak diajak belajar dan bermain sehingga anak-anak sadar akan pentingnya pendidikan," ungkap Heni. Dengan berbekal kurikulum sederhana, gerakan yang dinamai Anak Petani Cerdasini mengusungtigapelajar-an utama. Yakni, kemampuan linguistik, literasi, dan logika. Anak-anak juga diajarkan keterampilan komputer, pertanian, peternakan, perkebunan, dan bahasa daerah.
Tak lupa pula, pendidikan karakter untuk anak-anak petani itu.
"Mereka harus tahu bahwa senjata paling ampuh memutus rantai kemiskinan adalah pendi-dikan," ucap Heni. Perjuangan Heni tidak sia-sia, komunitas kecil yang tadinya dibangun berdua kini berkembang dari berbagai sisi.
Tidak hanya fokus memberikan pendidikan gratis bagi anak-anak petani, gerakan juga berkembang dalam program pemberdayaan ekonomi, kesehatan, dan sosial. Sehingga fokus pengabdian ke-luarga Heni semakin luas pada warga yang sangat miskin.
Kini, bersama Empowering Indonesia Movement Foundation disingkat EmpowerIN Foundation, Heni fokus meng-abdikan diri dalam pendidikan anak-anak dari kampung. Tak cukup hanya anak petani, juga anak-anak dari keluarga miskin lainnya. Tidak hanya kampung Sasak yang menerima manfaatnya, tetapi gerakan ini berkembang di 18 kampung. Lebih dari 3.000 anak diberikan pendampingan dan 500 di antaranya mendapatkan bea-siswa pendidikan.
Lebih hebat lagi, kegiatan yang tadinya hanya diprakarsai dua orang, kini menjadi gerakan nasional bahkan internasional. "Sampai tahun ini penerima manfaat yayasan kami lebih dari 150 ribu orang di seluruh Indonesia dan donatur kami tersebar dari lima benua," tutur Heni bersyukur.
Relawan-relawan datang bergantian memberikan daya dan dana mereka. Heni banyak membagikan kegiatan dan kondisi masyarakat yang dilayani di media sosial. Ini pula yang membuat gerakan kebaik-an ini menular ke banyak orang.
Kini Heni bersama seluruh rela-wan dan tim yang terlibat dapat melakukan lebih banyak aktivitas untuk menolong masyarakat. Pro-gram-program yayasan fokus pada peningkatan kualitas hidup mereka.
Warga yang sakit didampingi pengobatannya, sanitasi desa dibe-nahi, rumah yang rusak diperbaiki, instalasi air bersih dan sumur bor diupayakan pada warga yang kesulitan air bersih, serta memberi modal usaha pada kelompok tani. Tidak hanya itu, pemuda-pemuda dibimbing berwirausaha.
Menyoroti hidupnya yang berubah seratus delapan puluh derajat, Heni mengaku sangat bersyukur.
Ia pernah merasa dirinya sangat tidak beruntung, namun kini semus itu berbalik menjadi rasa syukur. "Kini saya tahu alasannya mengapa saya menjadi sarjana pertama di kampung, tentu agar saya bisa melakukan perubahan di sana dan juga di Indonesia," katanya tersenyum.
Memberi pelayanan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat secara gratis di banyak kampung di Indonesia adalah buah kehidupan Heni. Buah-buah yang bisa dirasakan oleh banyak orang dan juga Heni sendiri.
" Perasaan bahagia saat membantu orang lain dan berbuat ke-baikan itu membuat saya kecanduan, hidup yang terbatas ini pun terasa lebih berarti," ucapnya semringah.