Kiat Memulihkan Kondisi Perekonomian Indonesia Di tengah Krisis Ekonomi Global dan Keikutsertaan Indonesia Pada Trans Pasific Partnership
Latar Belakang Krisis Ekonomi Dunia tahun 2015
Gambaran menyeluruh ekonomi dunia tahun 2015, World Economic Outlook, Update ) Januari 2015. Secara ringkas, outlook ekonomi dunia tahun 2015 dipengaruhi 4 faktor penting, antara lain:
a. Menurunnya harga minyak mentah dunia.
Dengan meningkatnya produksi minyak mentah AS, melambatnya permintaan global, dan keputusan OPEC untuk tetap mempertahankan pangsa pasar OPEC, harga minyak mentah Brent terus turun hingga di bawah USD 55/barel dan WTI turun di bawah USD 50/barel pada awal tahun 2015.
Estimasi EIA, US Dept. of Energy terakhir (Januari 2015) memperkirakan harga minyak mentah Brent dan WTI dalam keseluruhan tahun 2015 masing-masing sebesar USD 54,6 per barel dan USD 57,6 per barel. Dalam keseluruhan tahun 2016, harga Brent dan WTI diperkirakan meningkat masing-masing menjadi USD 75 dan USD 71 per barel.
Sementara itu IMF memperkirakan harga minyak mentah rata-rata (Brent, Dubai, dan WTI) dalam tahun 2015 sebesar USD 56,7 per barel. Proyeksi produksi, permintaan, dan inventori minyak mentah dunia serta harga WTI.
Perkiraan harga minyak mentah pada tahun 2015 dan 2016 ini dalam ketidakpastian pasar yang tinggi serta didasarkan pada estimasi dimana pasokan minyak mentah diperkirakan melebihi permintaannya sehingga akan menambah inventori sampai dua-tiga triwulan pertama tahun 2015. Selanjutnya dengan permintaan yang mulai meningkat dan melemahnya pasokan minyak mentah, pasar minyak mentah dunia akan mulai seimbang pada paruh kedua tahun 2015 dan harga mulai meningkat.
Turunnya harga minyak mentah dunia berpengaruh kepada penerimaan negara (national revenue) Indonesia, sehingga pemerintah tidak leluasa dalam melakukan pembangunan infrastruktur untuk mendukung meningkatnya akses kegiatan ekonomi masyarakat.
b. Rendahnya Pertumbuhan Ekonomi Dunia.
Ekonomi dunia tahun 2015 diperkirakan hanya tumbuh 3,5 persen, lebih rendah 0,3 persen dari perkiraan sebelumnya (3,8 persen). Meskipun lebih baik dibandingkan tahun 2014 (3,3 persen), tingkat pertumbuhan tahun 2015 ini di bawah long term trend pertumbuhan global (4 persen). Dengan tingkat pertumbuhan ini, harga komoditi, termasuk komoditi nonmigas, diperkirakan cenderung turun.
Ekonomi AS merupakan satu-satunya negara maju yang prospeknya lebih baik dari yang diperkirakan sebelumnya. Ekonomi AS pada tahun 2015 diperkirakan tumbuh 3,6 persen. Sementara itu Kawasan Eropa dan Jepang hanya tumbuh masing-masing 1,2 persen dan 0,8 persen. Perekonomian kawasan Asia diperkirakan tumbuh lebih rendah (6,4 persen) dengan ekonomi Cina yang diperkirakan melambat menjadi 6,8 persen.
Melambatnya pertumbuhan ekonomi Cina dalam jangka menengah berdampak luas terhadap seluruh mitra dagangnya. Utang Cina mencapai 250 persen PDB atau 100 persen PDB membatasi Cina untuk melakukan ekspansi. Meski suku bunga acuan diturunkan, kebijakan ekonomi Cina tetap ketat untuk mendinginkan sektor properti dan memperlambat penambahan utang baru. Suku bunga pinjaman tetap tinggi dengan meningkatnya resiko usaha di Cina. Keinginan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dapat menimbulkan resiko krisis keuangan yang tidak saja berdampak pada ekonomi Cina, tapi juga pada ekonomi kawasan Asia Timur, Asia Tenggara dan bahkan berpengaruh kepada ekonomi dunia.
Adapun kemungkinan lebih buruk (downside risk) dapat terjadi apabila terdapat perubahan sentimen yang luar biasa pada stabilitas keuangan dunia khususnya emerging economies terkait dengan perubahan harga komoditi serta resiko stagnasi dan deflasi di Eropa dan Jepang yang pada gilirannya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dunia.
Bank Dunia dalam outlook terbarunya juga memperkirakan gambaran ekonomi dunia yang sama. Ekonomi dunia tahun 2015 diperkirakan tumbuh lebih baik, yaitu 3,0 persen, namun lebih rendah dari perkiraan sebelumnya (3,4 persen).
c. Menguatnya nilai tukar dolar AS dan melemahnya mata uang lainnya
Kebijakan pemerintah Bank Central Amerika Serikat dalam meningkatkan suku bunga Fed tahun 2014 – sekarang, memicu arus masuk modal yang berasal baik dari Asia maupun Eropah masuk ke Amerika Serikat. Kebijakan pemerintah amerika tersebut berpengaruh terhadap melemahnya nilai tukar matau uang diseluruh dunia terhadap Amerika Serikat, termasuk rupiah terhadap US dollar yang berdampak turunnya daya beli masyarakat khususnya di Indonesia.
d. Kenaikan suku bunga dan resiko makro lainnya.
Normalisasi kebijakan suku bunga AS akan mendorong kenaikan suku bunga global dan menguatkan nilai tukar dolar AS. Normalisasi suku bunga AS sebagai kelanjutan dari pengakhiran quantitative easing, meskipun dilakukan secara bertahap serta dengan sinyal yang jelas, berpotensi menimbulkan sentimen negatif yang berlebihan.
Interaksi antara normalisasi kebijakan suku bunga AS, penurunan harga komoditi, perlambatan ekonomi di berbagai kawasan, dan potensi krisis di beberapa negara dapat menimbulkan gejolak yang membahayakan sistem keuangan global.