Produksi Besar Berkat Para Juru Masak Bersosok Kecil.
Pohon jeruk soe milik Enos Lasveto itu bagal kerakap tumbuh di batu. Pohon setinggi 5 m itu hidup segan, mati tak mau karena kering dan luka di batang. “Sebelum meranggas, daun berwarna kuning dengan bercak hitam dl permukaan daun,” kata Welem Toto, anggota staf Dinas Pertanian Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang mengamati kebun Enos.
Immanuel Baun menghadapi kasus serupa. Kondisi pohon kering dengan sedikit daun yang masih tersisa di ujung-ujung ranting. Welen Toto menduga pohon-pohon anggota famili Rutaceae itu terserang penyakit blendok. Sementara beberapa pekebun mengatakan itu akibat serangan citrus vein phloem degeneration (CVPD). Perbedaan pendapat itu disebabkan gejala yang muncul mirip: daun menguning, kerdil, lalu rontok. Serangan lambat tapi mematikan.
Meniru Tiongkok
Ir Mutia Erti Dwi Astuti MS, peneliti di Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balltjestro), Tlekung, Provinsi Jawa Timur, menuturkan serangan di sentra jeruk soe di Kabupaten Timor Tengah Selatan belum tentu CVPD. “Sebab salah satu gejala kekurangan unsur seng juga daun meranggas dan tanaman kering,” ujarnya. Gejala awal serangan CVPD ialah tampak pola belang pada daun.
Sementara batang dan akar tanaman tidak membusuk. Gejala busuk pada batang tanaman disebabkan oleh penyakit blendok atau diplodia akibat cendawan Botrydiplodia theobromae. Masa inkubasi cendawan itu 6-12 bulan. Kemudian, "Pada tahun ke-3-4 pascaserangan, daun akan meranggas. Persis gejala CVPD,” tutur Mutia. Apa pun penyebabnya, yang jelas produksi jeruk soe di Kota Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, turun 50% pada 2010.
Pekebun bekerja sama dengan Dinas Pertanian setempat melakukan segala cara untuk mengatasi serangan penyakit itu. Mereka memberikan bubur bordo pada pohon jeruk yang terserang blendok. Bubur bordo terbuat dari campuran air, kapur tohor, dan terusi. Pekebun lantas mengoleskan larutan itu pada batang yang luka. Sementara untuk meningkatkan produksi, pekebun memberikan pupuk kandang dan bokasi.
Sayang, upaya itu tak membuahkan hasil. Pohon-pohon jeruk soe tetap saja bak kerakap itu. Produksi masih tetap rendah kurang dari 80 kg per pohon. Padahal, tanaman berumur 12 tahun umumnya menghasilkan 100-120 kg. Untung saja Lily Nitbani, anggota staf Dinas Pertanian Kabupaten Timor Tengah Selatan, berjumpa dengan Irwan Margono pada sebuah ekshibisi pada 2011. Irwan Margono, pemasar pupuk hayati, mendengar kisah Lily soal kondisi jeruk keprok soe yang merana.
Iwan teringat kejadian serupa pernah menimpa pekebun jeruk di Desa Ma Lin dan Po Lin, Provinsi Hokkian, Tiongkok. Setelah memberikan pupuk hayati, ribuan pohon di Ma Lin itu akhirnya pulih (baca: Dari Bandung Menyelamatkan Juzi, Trubus 497 Juni 2010). Irwan pun menyarankan pemberian pupuk hayati ramuan Ayub S. Parnata, pemain anggrek senior. Lily pun memenuhi saran Irwan dan memesan 90 botol pupuk hayati-isi masing-masing 1 liter.
Mikroba baik
Lily Kemudian memberikan pupuk hayati itu kepada Enos Lasveto dan Immanuel Baun untuk mengaplikasikannya pada kebun mereka. Setiap pohon memperoleh 2 liter larutan pupuk hasil pengenceran 125 ml pupuk organik cair dengan 10 liter air. Mereka menyiramkan pupuk di empat titik di bawah tajuk sehingga masing-masing lubang mendapat 0,5 liter larutan. Pemberian pupuk organik sekali sebulan berturut-turut selama 5 bulan.
Enos dan Immanuel juga menyemprotkan pupuk hayati itu pada daun, ranting, serta cabang secara merata. Konsentrasinya 2 ml per liter. "Biasanya satu tangki berisi 15-20 liter bisa untuk menyemprot 20 pohon,” tutur Irwan. Semprot setiap pekan sebelum pembungaan. Saat muncul bunga tingkatkan frekuensi menjadi 2 kali sepekan hingga panen, sekitar 3 bulan. Usai panen biarkan pohon tanpa perlakuan selama 2 bulan.
Tiga bulan pascaperlakuan muncul daun baru yang mulus berwarna hijau tanpa kehadiran belang kuning serta bercak hitam. Senyum Enos dan Immanuel kian mengembang pada April 2012, saat melihat pohon-pohon jeruk yang tampak merunduk, tanda cabang sarat buah. Sayang, angin ribut menerpa kebun Immanuel sehingga sebagian pohon jeruk yang tengah berbuah lebat pun patah.
Sementara Enos hingga 21 Juni 2012 panen 240 kg jeruk dari 120 pohon. Pohon-pohon itu sebagian besar (102 pohon) berumur 12 tahun, selebihnya 18 pohon berumur 27 tahun. Hingga tanggal itu semua pohon Itu masih sarat buah. Enos memperkirakan produksi sebuah pohon berumur 27 tahun mencapai 200 kg jeruk. Bandingkan dengan setahun silam yang hanya 80-120 kg per pohon. Saat ini harga jual jeruk di tingkat pekebun Rp25.000 per kg. Dari penjualan perdana, Enos mengantongi Rp6-juta. Setahun silam omzet Enos cuma Rp3-juta per musim.
Simbiosis
Berdasarkan riset Beijing University of Agriculture di Xianmen, China, pupuk hayati ramuan Ayub itu mengandung unsur hara makro dan mikro, 19 jenis asam amino seperti asparagin, glycine, methionine, praline, alanine. Kandungan lain dalam pupuk Itu adalah tiga zat pengatur tumbuh, yakni giberelin, zeatin, dan auksin, serta 7 mikroorganisme biotik antara lain Azotobacter sp„ Azospirilium sp„ dan Mycorhyza sp.
Menurut Irwan, pupuk hayati mampu memulihkan kondisi pohon jeruk soe karena mikroba mampu bersimbiosis dengan akar tanaman. Bakteri Azotobacter sp dan Azospirilium sp., misalnya, menambat nitrogen di udara yang “siap saji” bagi tanaman. Nitrogen bersama-sama dengan fosfor membentuk protein dan energi untuk pertumbuhan tanaman. Sementara bakteri Lactobacillus sp. dan Aspergillus sp. membantu menyediakan fosfat. Para makhluk mini itu Ibarat juru masak bagi pohon.
Kedua bakteri itu melarutkan senyawa fosfor-yang tak dapat diserap tanaman-menjadi anion fosfat. Dengan perubahan itu, tanaman pun mudah menyerapnya. Bila ketersediaan fosfor memadai, maka jumlah karbohidrat hasil fotosintesis berlimpah sehingga setelah pulih tanaman cepat berbunga dan berbuah. Hasilnya, produksi jeruk soe pada 2012 meningkat 2 kali lipat dibandingkan 2011. Jadi, selain menjadi juru masak, mikroorganisme Itu juga juru selamat bagi keprak soe.
Sumber : Hasil Liputan (Tri Istianingsih/ Peliput: Andari Tltlsari, Evy Syariefa, dan Pranawita Karina) dari Trubus.