Riset Gabungan Arkeologi dan Genetika Dilaksanakan
Tak hanya Austronesia, Sulawesi juga diduga menjadi batu loncatan bagi migrasi awal manusia dari Afrika sekitar 50.000 tahun lalu, sebelum kemudian tiba di Papua dan Australia. Meski demikian, hingga kini studi terkait hal itu masih amat kurang, padahal hal itu penting untuk memahami asal-usul dan migrasi manusia Indonesia.
"Alasan-alasan inilah yang membuat kami melaksanakan riset di sekitar Lembah Lore kali ini," kata Isabella Apriyana, peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Riset dan Teknologi, di Palu, Sulawesi Tengah, Minggu (21/8). Penelitian yang juga didukung National Geographic Young Explorer Grant dan Nanyang Technological University-Singapura itu melibatkan arkeolog, antropolog, dan peneliti genetika.
"Kami ingin mengetahui apakah masyarakat yang masih menghuni kawasan Lore saat ini masih memiliki kaitan dengan manusia yang membangun situs megalitik ini," ujarnya. Karena itu, pihaknya juga berencana mengambil sampel genetika orang-orang di Lembah Lore saat ini, termasuk orang-orang Da'a yang mempunyai ciri fisik berbeda dengan Austronesia.
Menurut ahli genetika dari Lembaga Eijkman, Herawati Sudoyo, uji sampel genetika dari kerangka manusia yang dikubur dalam kelamba di situs Tadulako, Lembah Besowa ditemukan mereka sebagai penutur Austronesia. "Penelitian terdahulu ini masih belum merinci tentang haplotipe maupun umur temuannya. Karena itu, kami akan uji lagi dan membandingkan dengan populasi yang masih ada," ujarnya.
Kekayaan megalitik
"Megalitik di wilayah Lore, meliputi Lembah Napu, Besowa, dan Bada ini dibangun sekitar 2.000 tahun lalu. Itu termasuk yang tertua di Indonesia. Selain dalam bentuk arca, juga ditemukan banyak kalamba (kubur batu), lumpung batu untuk menumbuk tumbuhan, umpak batu, benteng batu yang menandakan perkampungan, dan tempayan kubur dari tanah liat," kata Dwi Yani Yuniawati Umar, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta.
Dwi Yani menambahkan, temuan megalitik tertua di Indonesia selama ini diduga asal Minahasa. "Ini diperoleh dari tulang di waruga (kubur batu) yang usianya sekitar 4 abad sebelum Masehi. Megalitik di Jawa dan Sumatera rata-rata dari abad ke-10 Masehi," ujarnya.
Untuk arca megalitik di kawasan Lore, sebagian di antaranya serupa dengan di Pulau Easter, Pasifik. "Namun, di Lore jauh lebih tua," kata Dwi Yani.
Menurut pendataan yang dilakukan Ikhsam, Wakil Kepala Museum Sulawesi Tengah, jumlah megalitik di wilayah Lore yang ditemukan lebih dari 600 buah. "Masih banyak temuan baru lagi, tetapi banyak juga yang dijual ke luar," ujarnya.
Dwi Yani menjelaskan, situs megalitik di Lembah Bada ditemukan pertama kali sekitar 124 tahun lalu oleh misioner Belanda. "Kami baru melakukan penelitian sejak tahun 1976 dan dimulai lagi sejak 2010. Data-data yang ada masih kurang," ujar Dwi Yani, yang tengah studi doktoral terkait megalitik di Lore itu.
Temuan arkeologis baru sebatas sebaran dan fungsi megalitiknya. "Ke depan, perlu penelitian tentang asal-usul dan siapa pembuatnya, dari mana serta bagaimana pengaruhnya terhadap temuan megalitik di kawasan lain," ujarnya.
Selain kaya dengan temuan arkeologis, warga Lore masih mempraktikkan tradisi tua. Tradisi itu, antara lain, pembuatan kain dari kulit kayu dan pembuatan tembikar dengan alat sederhana, tanpa alat putar.
Dari aspek kesehatan, di kawasan itu masih ditemukan adanya penyakit schistosomiasis. Penyakit itu disebabkan parasit cacing schistosoma yang bisa masuk melalui pori-pori kulit. Penyakit kuno yang bisa menimbulkan kematian itu di Indonesia, sejauh ini hanya ditemukan di kawasan Lore.
Sementara dari segi geologis, kawasan itu dikenal memiliki kerentanan gempa amat tinggi, karena berada di zona sesar Palu-Koro. "Penelitian ini diharapkan bisa membantu menambah perspektif kekinian. Ini dalam kaitan dengan penyakit yang dibawa migrasi awal dan dengan bencana di masa lalu," kata Herawati, Wartawan Kompas