Pengenalan Tanam Lengkeng, Daerah Asal Lengkeng, Penyebaran Lengkeng, Potensi Pasar Buah-buahan, Potensi dan Peluang Agrobisnis Leci
Pengenalan Tanaman Lengkeng
Dari Manakah Asal dan Penyebaran Lengkeng dan Bagaimana Potensi Serta Peluang Agro Bisnisnya Temukan Jawabannya di sini.
Pengenalan tanaman lengkeng secara cermat bermanfaat untuk meningkatkan kecintaan dalam membudidayakan dan melestarikan tanaman tersebut secara bijaksana. Pada kesempatan ini membahas tentang daerah asal dan penyebaran tanaman lengkeng, taksonomi dan morfologi, serta jenis dan varietas lengkeng.
Daerah Asal dan Penyebaran Lengkeng
Berdasarkan sejarah, daerah asal tanaman lengkeng adalah dataran Cina dan Indo-Malaya, yang mencakup Indo China, Malaysia, Indonesia, dan Filipina. Sebagian ahli botani dan pertanian menyatakan bahwa tanaman yang merupakan kerabat dekat rambutan ini berasal dari India. Namun, Nikolai Ivanovich Vavilov, ahli botani Soviet, memastikan bahwa sentrum asal tanaman lengkeng adalah Cina. sedangkan Indo-Malaya merupakan sentrum asal rambutan dan kapulasan.
Dari daerah asalnya, tanaman lengkeng menyebar ke berbagai negara di dunia. Di negara Thailand, tanaman lengkeng pertama kali dikenalkan pada tahun 1896 oleh pendatang dari Cina dan dipersembahkan kepada Ratu Dararusmi pada masa pemerintahan Rama V. Penanaman pertama dilakukan di Troug-chan (sekarang Bangkok) dan di Chiangmai. Saat ini, negara-negara yang mengembangkan tanaman lengkeng antara lain adalah Thailand, Vietnam. Cina. Malaysia, dan Indonesia. Dari beberapa negara penghasil tersebut, lengkeng Thailand saat ini mendominasi pasar dunia.
Diperkirakan, tanaman lengkeng masuk ke Indonesia pada abad XVIII. Sentium produsen lengkeng di Indonesia adalah Ambarawa, Temanggung,
Indonesia yang beriklim tropis kaya akan aneka jenis buah. Pengembangan agrobisnis buah-buahan mempunyai peluang besar untuk meningkatkan pendapatan petani, daerah, dan negara.
Potensi Pasar Buah-buahan
Salah satu prinsip agrobisnis adalah berorientasi pasar. Pasar buah-buahan Indonesia masih terbuka luas di dalam dan di luar negeri. Namun, kesempatan ini belum dimanfaatkan secara optimal. Untuk dapat memenuhi peluang pasar dalam negeri dan merebut pasar luar negeri, Indonesia harus mengupayakan peningkatan produksi buah yang berkualitas tinggi dengan harga yang mampu bersaing, serta tersedia secara berkelanjutan.
Potensi pasar berkaitan erat dengan jumlah penduduk sebagai konsumen. Perkiraan jumlah penduduk di Indonesia pada akhir tahun 2003,2008, 2011, dan 2018 secara berturut-turut adalah 225,2 juta, 341,1 juta, 257,2 juta, dan 276,4 juta. Pertambahan jumlah penduduk akan mempengaruhi peningkatan permintaan buah-buahan. Pada tahun 2000-2005 peningkatan permintaan buah-buahan di Indonesia diperkirakan mencapai 6,5% per tahun, pada tahun 2005-2010 meningkat menjadi 6,8% per tahun, dan pada tahun 2010-2015 mencapai 6,9% per tahun.
Konsumsi buah-buahan Indonesia pada tahun 2001 baru mencapai ± 35 kg/kapita/tahun, sedangkan konsumsi buah-buahan yang di rekomendasikan FAO untuk kecukupan gizi adalah sebesar 60 kg/kapita/tahun. Ter-jadinya kesenjangan antara produksi dan konsumsi buah-buahan tersebut disebabkan produksi buah-buahan di Indonesia masih rendah, yakni berkisar antara 2,8-16,7 ton/ha atau rata-rata 8,5 ton/ha.
Di lain pihak, konsumsi buah-buahan yang masih rendah tersebut juga disebabkan oleh tradisi tidak suka makan buah, kurangnya kesadaran pentingnya gizi, dan pendapatan yang belum memungkinkan untuk membeli buah. Meskipun tanaman buah-buahan tersebar luas di seluruh wilayah, namun konsumen buah-buahan yang kuat baru berkisar antara 9,5%-26,1 %, yakni 9,5% di kota dan 16,6% di pedesaan.
Daya beli yang kuat terhadap buah-buahan terdapat di kota terutama kota-kota besar seperti Medan, Surabaya, dan Jakarta. Oleh karena itu, daya serap buah-buahan yang tertinggi adalah kota-kota besar. Konsumen di kota-kota besar menghendaki persyaratan kualitas yang tinggi sehingga muncul supermarket yang lebih mengutamakan buah-buahan berkualitas tinggi atau dikenal dengan nama pasar konsumen. Sebaliknya, di kota-kota kecil dan desa-desa, karena daya beli penduduk relatif rendah, mereka lebih puas membeli hasil buah-buahan yang dapat mencukupi kebutuhan seluruh anggota keluarganya dengan harga murah, walaupun kualitasnya rendah.
Sisi kualitas menjadi sangat penting karena ada kecenderungan bahwa dengan meningkatnya pendapatan (income) masyarakat, makin mengarah kepada pasar konsumen. Oleh karena itu, tidak heran kalau konsumen lebih menyukai buah impor karena dipandang lebih tinggi kualitasnya.
Produksi buah-buahan di dalam negeri yang masih rendah dan kualitasnya yang belum memenuhi selera konsumen mendorong terjadinya impor buah-buahan dari luar negeri. Impor buah Indonesia cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Untuk mengatasi impor dan mendorong pasaran ekspor buah-buahan di Indonesia, perlu usaha peningkatan produksi dan kualitas buah dalam negeri dengan cepat. Hal ini hanya mungkin dilakukan dengan cara membuka lahan baru untuk tanaman buah-buahan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Meningkatnya produksi buah-buahan dalam negeri akan dapat mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, menekan atau menghentikan impor buah-buahan, serta meningkatkan pendapatan petani.
Negara tetangga yang merupakan pasar hasil hortikultura Indonesia adalah Hongkong, Penang, Singapura, dan Sabah. Peluang pasar buah-buahan tropis segar dan kering ke berbagai negara di dunia antara lain Australia, Belgia, Kanada, Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman, Greece, Hongkong, Irlandia, Italia, Jepang, Yordania, Belanda, Selandia Baru, Spanyol, Swedia, Swiss, Trinidad, Inggris, dan Amerika Serikat.
Potensi dan Peluang Agrobisnis Leci
Buah-buahan tropis di Eropa berasal dari Israel, Filipina, dan Mesir. Indonesia belum mengambil peran dalam merebut pasaran tersebut, padahal di negara kita terdapat banyak jenis buah yang berbuah 2-3 kali setahun, yang tidak mungkin terjadi di negara lain. Salah satu jenis buah komersial yang belum banyak di budidayakan dalam skala agrobisnis adalah leci.
Pengembangan agrobisnis tanaman leci perlu memperhatikan beberapa faktor sebagai berikut.
Ekologi daerah setempat: curah hujan, keadaan air tanah, kelembaban, suhu udara, ketinggian tempat dari permukaan air laut, dan sinar mata-hari.
Pemasaran: konsumen, jarak konsumen ke produsen, pengangkutan, fasilitas penyimpanan sebelum dapat dipasarkan, dan kemungkinan pengolahannya.
Pemilihan jenis dan varietas leci yang cocok dengan lokasi setempat dan tujuan penanaman: untuk buah meja atau bahan olahan, pasar dalam negeri atau luar negeri, dan sebagainya.
Di Thailand, leci termasuk dalam 17 jenis buah komersial yang mempunyai arti penting dalam perekonomian negara tersebut. Pertanaman leci di Thailand tidak kurang dari 8.200 hektar dengan produksi 14.200 ton/ tahun. Tidak heran bila Thailand saat ini telah mengembangkan aneka varietas unggul leci untuk memasok pasar ekspor.
Di Indonesia, tanaman leci belum banyak dikenal, walaupun tanaman-nya sudah ada sejak zaman Belanda. Daerah produsen leci antara lain Payangan (Bali). Namun, akhir-akhir ini tanaman leci dikembangkan di lereng gunung Wilis, Madiun (Jawa Timur), dan mulai ditanam pula di Cianjur (Jawa Barat) serta Kalimantan.
Prospek pengembangan tanaman leci dalam skala agrobisnis cukup cerah karena kondisi agroekologi dan lahan di Indonesia sangat memungkinkan untuk pengembangan tanaman leci. Di samping itu, buah leci juga di-gemari masyarakat serta peluang pasarnya cukup baik dengan tingkat harga yang tergolong tinggi (mahal).
Buah leci mengandung gizi cukup tinggi dengan komposisi lengkap. Setiap 100 g leci segar mengandung 77-87 g air, 0,8-0,9 g protein, 1 g le-mak, 10-20 g gula, 0,3 mg besi, 0,05 mg serat, dan 40,2-90 mg vitamin C. Mengonsumsi tujuh butir leci dapat memenuhi kebutuhan vitamin C untuk satu hari. Buah leci juga berkhasiat obat, yaitu untuk mengobati batuk dan asma. Buah leci dapat diolah lebih lanjut dalam skala pabrikasi, seperti sari buah rasa leci, sirup, dan makanan atau minuman kalengan (canning).