Bangsa Barat datang dan ikut meramaikan dunia perdagangan di Kepulauan Nusantara sejak awal abad ke-16, khususnya setelah Portugis menguasai Malaka pada 1511.
Kedatangan pedagang Barat membuat jenis mata uang yang beredar semakin beragam. Perlakuan masyarakat terhadap mata uang Barat tidak jauh berbeda dengan perlakuan terhadap mata uang lokal yang beredar pada abad-abad sebelumnya.
Meski pedagang VOC paling dominan di wilayah Kepulauan Indonesia, tidak berarti mata uang VOC dijadikan standar dalam perdagangan atau yang paling diterima oleh masyarakat dan pedagang setempat. Justru mata uang logam Spanyol (Spaansche matten) atau rea/Spanyol yang kemudian dijadikan standar.
Kedatangan pedagang Barat membuat jenis mata uang yang beredar semakin beragam. Perlakuan masyarakat terhadap mata uang Barat tidak jauh berbeda dengan perlakuan terhadap mata uang lokal yang beredar pada abad-abad sebelumnya.
Meski pedagang VOC paling dominan di wilayah Kepulauan Indonesia, tidak berarti mata uang VOC dijadikan standar dalam perdagangan atau yang paling diterima oleh masyarakat dan pedagang setempat. Justru mata uang logam Spanyol (Spaansche matten) atau rea/Spanyol yang kemudian dijadikan standar.
Pedagang Asia sangat menyukai mata uang logam ini karena kadar perak yang terkandung di dalamnya sangat tinggi. Sehubungan dengan itu, demi memperlancar bisnis perdagangannya di Kepulauan Nusantara, pimpinan VOC di Batavia memohon izin kepada Raja Belanda untuk mencetak mata uang real baru yang ukuran, berat dan kadar peraknya setara dengan real Spanyol. Raja Belanda mengabulkan permohonan itu dengan catatan bahwa mata uang tersebut hanya untuk kegiatan bisnis di Kepulauan Nusantara.
Upaya VOC menggeser peran real Spanyol ternyata tidak mudah. Para pelaku bisnis di daerah ini ternyata masih memilih real Spanyol alih-alih real VOC sebagai mata uang standar. Kedudukan real Spanyol terus bertahan hingga pertengahan abad ke-17. Meskipun pada akhirnya peran mata uang real Spanyol menurun, hal itu tidak berkaitan dengan keberhasilan usaha VOC, tetapi karena mata uang Spanyol itu semakin sulit diperoleh. Sedikit demi sedikit, upaya memasarkan mata uang VOC seperti rijksdaalder mulai diterima pelaku bisnis di Kepulauan Nusantara. Mulanya VOC juga berniat menyingkirkan cassie, namun ketenaran mata uang ini justru membuat pimpinan tertinggi VOC berbalik ingin memanfaatkannya untuk kegiatan bisnisnya. Akan tetapi, karena harga cassie lambat-laun meningkat, VOC yang tidak sanggup membiayai lagi meminta bantuan Raja Belanda untuk mengirimkan mata uang receh ke Hindia Timur. Sesuai dengan permintaan itu, sejak 1727 beredar mata uang "duit" yang bertahan hingga awal abad ke-20.
Selain mengedarkan mata uang Belanda, VOC juga memperkenalkan mata uang kertas kepada pelaku bisnis di Kepulauan Nusantara. Kala itu yang menjadi Gubemur Jenderal VOC adalah Gustaaf Willem Baron van Imhoff (1743-50). Pada 1748 diterbitkan mata uang kertas dalam bentuk sertifikat (kertas berharga) dan memperoleh bunga bila ditukar dengan uang tunai. Ternyata sertifikat ini sangat menarik perhatian masyarakat sehingga VOC memproduksinya dalam jumlah besar, mulai dari yang bernilai 1 rijksdaalder hingga 1000 rijksdaalder. Bahkan beberapa belas tahun menjelang kebangkrutannya, yaitu pada 1783, VOC mengedarkan seri mata uang kertas rijksdaalder dengan jaminan perak 100 persen. Namun dalam perkembangannya, penggunaan sertifikat banyak disalahgunakan dan tan pa pembatasan sehingga kepercayaan masyarakat terhadap sertifikat dan mata uang Belanda itu menurun terutama karena VOC tidak dapat lagi menjamin penukarannya dengan perak.9 Faktor inilah yang kemudian menjadi salah satu beban masalah bagi pemerintah Belanda yang mengambil alih aset dan kekuasaan VOC di Hindia Timur. Dalam situasi itu, seperti telah disebutkan, DJB didirikan dan diberi hak mencetak dan mengedarkan mata uang sendiri selain berfungsi sebagai bank umum.
Pembentukan DJB pada 1828 hingga akhirnya ditetapkan sebagai bank sirkulasi dan Bank Sentral Republik Indonesia Serikat (RIS) dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) jarang diungkap dalam karya sejarah ekonomi Indonesia.10 Memang telah disebutkan bahwa DJB merupakan cikal bakal Bl, namun isu-isu yang muncul selama proses perubahan itu tidak banyak diungkap. Demikian pula masalah mengapa DJB tidak bisa berkembang menjadi bankers' bank atau menjadi lender of the last resort di wilayah Hindia Belanda belum banyak dijelaskan. Dalam perjalanan waktu yang lebih dari satu abad, DJB tetap pada status dan kedudukannya semula, yaitu bank umum yang berfungsi sebagai bank sirkulasi. Dalam kaitan itu, banyak hal menarik untuk dipelajari, tidak untuk masa lalu, tetapi demi kepentingan perbankan masa kini.
Hal lain yang tidak kalah menarik untuk dikaji ialah mengapa Pemerintah Republik Indonesia lebih memilih DJB sebagai bank sirkulasi RIS yang kemudian menjadi Bank Sentral Republik Indonesia, padahal sebelumnya pada tahun1946 telah berdiri Bank Negara Indonesia (BNI) yang, oleh ekonom Sumitro Djojohadikusumo, disebut sebagai bank perjuangan. Mengapa Pemerintah Indonesia terkesan menyerah kepada tuntutan delegasi Belanda yang ingin menjadikan DJB sebagai bank sirkulasi. Pelbagai isu yang berkembang setelah penetapan DJB sebagai bank sirkulasi menunjukkan bahwa banyak pihakyang merasa keberatan bank milik swasta Belanda itu dijadikan sebagai bank sirkulasi yang mengesampingkan BNI yang didirikan sendiri oleh bangsa Indonesia sekaligus sebagai simbol perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan dalam bidang ekonomi moneter.
Tidak salah jika pihak Belanda merasa gembira dengan hasil yang dicapai dalam KMB, seperti terungkap dalam pepatah yang hidup di kalangan penguasa Belanda, "Indieverloren, betekende niet ramspoed geboren"atau hilangnya Hindia Belanda bukan berarti lahirnya bencana. Dengan pengakuan utang-piutang Hindia Belanda sebagai utang RIS kepada Belanda, maka Belanda tetap memperoleh dana dari bekas koloninya, selain tetap memperoleh bantuan dari Program Marshall. Bila dijumlahkan secara keseluruhan akan mencapai sekitar 8 milyar gulden. Dengan jumlah dana sebesar itu Pemerintah Belanda mampu menciptakan themiracle of Holland-membangun kembali negaranya yang rusak akibat Perang Dunia II dalam waktu yang relatif cepat dibandingkan dengan beberapa negara tetangganya yang juga mengalami hal yang sama. Pihak Indonesia akhirnya menyadari telah diperdaya oleh Pemerintah Belanda sehingga memutuskan untuk tidak meneruskan ketentuan KMB itu. Namun, keputusan itu terlambat, karena jumlah "utang" yang telah dibayarkan mencapai sekitar 4 milyar gulden atau sekitar 88 persen.
Sementara itu status DJB sebagai Bank Sentral RIS dan kemudian menjadi Bank Sentral Republik Indonesia mulai dipertanyakan kembali oleh beberapa politisi dan pengamat ekonomi Indonesia. Pihak-pihak yang sejak KMB berlangsung menyatakan ketidaksetujuannya menjadikan DJB sebagai Bank Sentral RIS, kembali menyuarakan pendapatnya. Tuntutan itu semakin mendapat simpati dan dukungan terutama ketika di beberapa daerah terjadi gerakan separatis kelompok yang diindikasi sebagai simpatisan atau pro-Belanda. Banyak ahli politik dan ekonomi moneter mendesak Pemerintah Rl segera menasionalisasi DJB karena Bank Sentral bukan sefcadar lembaga yang mengatur masalah moneter, tetapi juga sebagai simbol kedaulatan bangsa. Oleh karena itu, sungguh aneh jika lembaga semacam itu dikuasai oleh pengusaha swasta asing.
Tuntutan dan desakan itu akhirnya mendorong Pemerintah Rl memutuskan menasionalisasi sekaligus mengindonesiakan Bank Sentral ini secara damai, yaitu dengan cara membeli saham dan merekrut pegawainya. Namun tindakan itu belum cukup untuk meredam sikap-sikap "DJB-fobi," bahkan muncul pula sindiran yang menyebut DJB adalah warisan kolonial. Sebutan "warisan kolonial" ini tidak menghilang \ seketika dengan terbitnya Undang-undang Pokok Bank Indonesia No. 11 Tahun 1953 pada Juli 1953 yang kemudian diundangkan melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1953 No.40, yang menggantikan Javaschebank wet (yang menjadi landasan operasional DJB). Dengan berlakunya UU tersebut, sejak 1 Juli 1953, DJB secara resmi diganti dengan nama Bank Indonesia yang secara dejure dan de facto adalah milik bangsa Indonesia.
Pemberlakuan UU No. 11 Tahun 1953 sempat mengundang ; kekhawatiran Bl tidak bisa bertindak independen seperti Bank Sentral = Amerika Serikat. Berdasarkan UU tersebut yang menjadi pimpinan j tertinggi Bl adalah Dewan Moneter yang terdiri atas Menteri Keuangan ;:i (ketua), Menteri Perekonomian, dan Gubernur Bl. Kekhawatiran itu s dijawab oleh Sumitro Djojohadikusumo dengan mengatakan bahwa BI akan tetap independen dan tidak bisa didikte oleh pemerintah.
Akan tetapi dalam perkembangannya, terbukti kepentingan '? pemerintah menjadi dominan, terutama setelah Presiden Rfi menempatkan Gubernur Bl sebagai anggota kabinet seperti terlihat ] pada era Demokrasi Terpimpin. Pembahasan buku ini diakhiri dengan j upaya pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto melakukan reorganises! perbankan nasional dan membubarkan sistem "bank berdjoan" bank tunggat yang dibentuk oleh Presiden Soekarno pada masa sebelumnya.