Rencana pembentukan bank itu dipertegas lagi oleh keputusan Raja Belanda menjelang akhir 1827 untuk mendirikan bank di Jawa.
Bank tersebut diberi wewenang mencetak mata uang dan mengatur peredarannya. Raja menganjurkan agar Pemerintah Hindia Belanda ikut memiliki saham senilai satu juta gulden dan 50 persen di antaranya sudah harus disetor pada waktu pembentukan. Namun, karena modal para pengusaha di Hindia Belanda relatif kecil, proses pembentukan bank kembali terkendala.
Oleh karena itu, Menteri Urusan Jajahan meminta kepada pimpinan Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) agar perusahaan dagang itu menanamkan sahamnya pada bank yang akan didirikan itu. Pada awalnya pimpinan NHM enggan ikut dalam proyek bank itu, namun karena modal dasar yang diharuskan tidak mencukupi, akhirnya NHM ikut menanamkan sahamnya.
Oleh karena itu, Menteri Urusan Jajahan meminta kepada pimpinan Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) agar perusahaan dagang itu menanamkan sahamnya pada bank yang akan didirikan itu. Pada awalnya pimpinan NHM enggan ikut dalam proyek bank itu, namun karena modal dasar yang diharuskan tidak mencukupi, akhirnya NHM ikut menanamkan sahamnya.
Tidak lama setelah itu, Viscount du Bus de Gisignies, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang menggantikan Baron van der Capellen,menerbitkan besluit No.28, tanggal 11 Desember 1827 tentang oktroi bagi DJB. Dalam Pasal 1 ditegaskan bahwa oktroi itu mulai berlaku sejak 1 Januari 1828. Oktroi ini kemudian diundangkan dalam Lembaran Negara (Staatsblad van Nederlands-lndie) Tahun 1828, No. 111. Dalam Artikel 32 oktroi disebutkan bahwa DJB diberi izin mengeluarkan bilyet-bilyet dengan nilai £1000, £500, £300, £200, £50, dan £25. Apabila bank hendak menerbitkan bilyet dengan nilai nominal lebih kecil, Direksi harus mengajukannya kepada Gubernur Jenderal yang akan meneruskannya kepada raja. Berdasarkan oktroi ini, untuk pertama kali DJB menerbitkan uang kertas bank yang terdiri dari 200 lembar pecahan £1000, 400 lembar pecahan £500,400 lembar pecahan £300,800 lembar pecahan £200,1.600 lembar pecahan £100, 2.400 lembar pecahan /50, dan 6.400 lembar pecahan £25.
Setahun setelah pembentukan DJB, rencana penanaman komoditi ekspor seperti usul Van den Bosch mulai direalisasikan di beberapa daerah. Walau demikian, STP baru dimulai secara resmi pada1830. Sejalan dengan itu, DJB membuka kantor cabangnya yang pertama di Semarang pada 1 Maret 1829, yang berjarak relatif lebih dekat ke perkebunan pemerintah yang baru dibuka dibandingkan dengan kantor DJB yang berada di Batavia.
Kapal Uap KPM bersandar di Pelabuhan Makassar. KPM merupakan perusahaan pelayaran milik pemerintah Hindia Belanda |
Sebagai salah satu pemilik saham di DJB, NHM kemudian mendirikan perusahaan pelayaran yang disebut (KPM). Perusahaan pelayaran ini kemudian mendapat hak monopoli mengangkut hasil produksi STP ke pasaran dunia.
Setelah kantor cabang DJB di Semarang diresmikan, beberapa kantor cabang didirikan lagi, terutama di wilayah atau kota yang ekonomi dan keuangannya menunjukkan perkembangan yang cukup menjanjikan, seperti Surabaya, Padang dan Makassar. Hingga 1870, DJB dapat dikatakan mendominasi masalah keuangan dan perbankan di Hindia Belanda nyaris tanpa saingan setelah 1870, Partai Liberal menguasai panggung politik pemerintahan Kerajaan Belanda, dan Cultuurstelsel resmi dibubarkan. Dominasi DJB pun menurun, apalagi sejak 1867 pemerintah kolonial mengizinkan bank swasta beroperasi di Hindia Belanda.
Pada dasarnya penggunaan mata uang sebagai alat tukar bukan hal yang baru bagi masyarakat di wilayah Kepulauan Nusantara. Pelbagai temuan arkeologis menunjukkan bahwa masyarakat Jawa sudah mengenal mata uang sebagai alat tukar dan alat pembayaran jauh sebelum bangsa Barat sampai ke wilayah ini. Meski tidak ada lembaga perbankan yang menjadi pengawas, pengontrol, sekaligus penjamin nilai mata uang, perdagangan di wilayah ini berkembang dengan baik. Bahkan pada abad ke-15 hingga abad ke-16, wilayah ini menjadi salah satu pusat kegiatan bisnis yang terkenal di dunia. Salah satu bandar dagang yang sangat menonjol di wilayah ini antara lain Malaka yang disebut-sebut sebagai emporium terbesar di Asia Tenggara.
Sejalan dengan perkembangan ekonomi dan perdagangan, mata uang yang beredar di wilayah Asia Tenggara, terutama di Nusantara, meningkat dan bervariasi. Di pasar Asia Tenggara pada masa itu tidak dikenal jenis mata uang yang ditetapkan sebagai pembanding atau kurs bagi mata uang lainnya. Semua diserahkan kepada pasar terutama pelaku bisnis. Meskipun demikian terdapat jenis mata uang yang sangat digemari oleh masyarakat yang secara tidak langsung sering dijadikan mata uang pembanding bagi nilai mata uang lainnya, seperti mata uang cass/eatau kepeng Cina. Begitu banyak masyarakat Asia Tenggara yang menggemarinya sehingga kaisar Cina melarang para pedagang membawa uang kepeng keluar wilayah Cina.
Ketenaran mata uang kepeng Cina terus berlanjut hingga bangsa-bangsa Barat mendominasi perdagangan di wilayah Asia. Gubernur Jenderal VOC, Hendrik Brouwer, mencoba memanfaatkan "kharisma" uang kepeng tersebut untuk bisnis kongsi dagang yang dipimpinnya. Pada 1633, ia memberikan hak istimewa kepada orang-orang Cina di Batavia untuk membuat cassie. Ternyata bukan hanya VOC yang tertarik dengan ketenaran cassie, tetapi juga orang-orang Inggris dan Jepang ikut mencetak dan mengedarkannya.
Ketenaran mata uang kepeng Cina terus berlanjut hingga bangsa-bangsa Barat mendominasi perdagangan di wilayah Asia. Gubernur Jenderal VOC, Hendrik Brouwer, mencoba memanfaatkan "kharisma" uang kepeng tersebut untuk bisnis kongsi dagang yang dipimpinnya. Pada 1633, ia memberikan hak istimewa kepada orang-orang Cina di Batavia untuk membuat cassie. Ternyata bukan hanya VOC yang tertarik dengan ketenaran cassie, tetapi juga orang-orang Inggris dan Jepang ikut mencetak dan mengedarkannya.