Pembentukan Bank Sentral Republik Indonesia
Bank Indonesia merupakan Bank Sentral Republik Indonesia yang dibentuk pada 1 Juli 1953 sebagai hasil perjuangan bangsa Indonesia dalam menegakkan kedaulatan, khususnya di bidang moneter dan perbankan.
Meski lahir pada masa kemerdekaan, Bank Indonesia (BI) memiliki sejarah yang relatif panjang, melebihi usia Negara Republik Indonesia. Sejarah Bl tidak terlepas dari lembaga bank yang menjadi pendahulunya yaitu De Javasche Bank (DJB) yang didirikan pada 1828.
DJB dapat dikatakan sebagai lembaga perbankan modern pertama di Hindia Belanda, bahkan di Benua Asia, didirikan untuk mendukung rencana pembangunan ekonomi Belanda yang sedang terpuruk. Sejak akhir abad ke-18 hingga dua dekade awal abad ke-19, kondisi ekonomi Negeri Belanda dan koloninya di Hindia Timur berada di titik nadir disebabkan oleh dua faktor.
Pertama, Kerajaan Belanda harus menanggung utang-piutang Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), kongsi dagang yang sebelumnya memberikan keuntungan dagang yang berlimpah kepada Kerajaan namun kemudian bangkrut karena kesalahan manajemen dan digerogoti korupsi. Kedua, Belanda terseret ke dalam Perang Napoleon, pemerintahannya diambil alih oleh Prancis, sementara koloninya dikuasai para pejabat yang pro-Prancis. Hal itu membuat pemerintahan pelarian Belanda di Inggris di bawah pimpinan Raja Willem berpihak kepada Inggris. Seusai perang, Belanda menerima kembali wilayah koloninya di Hindia Timur dari Inggris yang, bersama negara Sekutu lainnya, memenangi peperangan. Selanjutnya, Kerajaan Belanda- berupaya menata kembali kehidupan ekonominya, antara lain dengan mengandalkan ekspor hasil produksi pertanian dari Hindia Timur.
Meski lahir pada masa kemerdekaan, Bank Indonesia (BI) memiliki sejarah yang relatif panjang, melebihi usia Negara Republik Indonesia. Sejarah Bl tidak terlepas dari lembaga bank yang menjadi pendahulunya yaitu De Javasche Bank (DJB) yang didirikan pada 1828.
DJB dapat dikatakan sebagai lembaga perbankan modern pertama di Hindia Belanda, bahkan di Benua Asia, didirikan untuk mendukung rencana pembangunan ekonomi Belanda yang sedang terpuruk. Sejak akhir abad ke-18 hingga dua dekade awal abad ke-19, kondisi ekonomi Negeri Belanda dan koloninya di Hindia Timur berada di titik nadir disebabkan oleh dua faktor.
Pertama, Kerajaan Belanda harus menanggung utang-piutang Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), kongsi dagang yang sebelumnya memberikan keuntungan dagang yang berlimpah kepada Kerajaan namun kemudian bangkrut karena kesalahan manajemen dan digerogoti korupsi. Kedua, Belanda terseret ke dalam Perang Napoleon, pemerintahannya diambil alih oleh Prancis, sementara koloninya dikuasai para pejabat yang pro-Prancis. Hal itu membuat pemerintahan pelarian Belanda di Inggris di bawah pimpinan Raja Willem berpihak kepada Inggris. Seusai perang, Belanda menerima kembali wilayah koloninya di Hindia Timur dari Inggris yang, bersama negara Sekutu lainnya, memenangi peperangan. Selanjutnya, Kerajaan Belanda- berupaya menata kembali kehidupan ekonominya, antara lain dengan mengandalkan ekspor hasil produksi pertanian dari Hindia Timur.
Sementara itu, semangat laissez faire yang dihembuskan oleh Prancis meski kalah perang tetap hidup di kalangan beberapa pemikir dan praktisi Belanda. Oleh karena itu, ketika Belanda menerima kembali Hindia Timur dari Inggris pada 1816, kembali pula mengeksploitasi koloninya itu dengan menerapkan sistem ekonomi yang sejalan dengan prinsip laissez faire atau paling tidak mendekati sistem tersebut. Hal itu antara lain terlihat pada kebijakan Komisaris Jenderal Hindia Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Mr. Godert Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen (1816-26). Dalam masalah pajak tanah, ia berupaya menerapkan land rente yang diperkenalkan Raffles dengan mata uang sebagai alat pembayarannya. Akan tetapi, kebijakannya yang liberal itu ternyata tidak mampu memberikan keuntungan berlimpah seperti yang diharapkan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda. Van der Capellen hanya berhasil melakukan reorganisasi pemerintahan dari sistem VOC menjadi pemerintahan Hindia Belanda Timur atau Nederlandsch Oost-lndie, dan kemudian diubah sebutannya menjadi Hindia Belanda atau Nederlandsch-lndie pada 1816. Hingga menjelang dekade 1820-an, perkembangan ekonomi perdagangan Hindia Belanda belum menunjukkan tanda-tanda kembalinya masa keemasan seperti pada masa VOC. Dalam situasi seperti itu, Johannes van den Bosch mantan anggota Raad van Indie (Dewan Hindia) datang menyodorkan rancangan hasil pemikirannya tentang sistem produksi pertanian yang disebutnya Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa (STP). Dengan sistem itu, ia yakin Hindia Timur akan segera mendatangkan keuntungan yang berlimpah bagi Negeri Belanda.
Ketika pemerintah dan parlemen Belanda sibuk mempelajari usulan STP, para pengusaha swasta Belanda yang mencoba peruntungan di Hindia Belanda juga berupaya mencari terobosan agar bisnis perdagangannya cepat mendatangkan keuntungan. Pada umumnya mereka mengeluhkan faktor sarana pendukung bagi kegiatan bisnis di Hindia Belanda tidak memadai, antara lain tidak ada lembaga perbankan atau lembaga keuangan non-bank yang dapat menjamin kelancaran lalu lintas uang dan transaksi. Permasalahan ini mencuat ke permukaan secara jelas pada1821 ketika Hindia Belanda mengalami kekurangan persediaan mata uang sehingga membuat kegiatan bisnis lesu. Seorang pengusaha, John Deans, pemimpin perusahaan Deans Scoot & Co., kemudian mengajukan usul kepada Pemerintah Hindia Belanda agar segera mendirikan bank escompto dan perdagangan. Usulannya mendapat sambutan positif dari Gubernur Jenderal, yang kemudian meneruskan usulan itu kepada Raja Belanda di Den Haag.
Ketika usulan John Deans tiba di tangan Raja, pembicaraan tentang STP usulan Van den Bosch mendekati tahap akhir. Pada dasarnya sistem produksi itu tidak jauh berbeda dengan Preangerstelsel (Sistem Priangan)1 yang pernah diterapkan VOC di daerah Priangan. Sistem ini memang berbeda atau bahkan bertentangan dengan etika bisnis perdagangan yang sedang berkembang di Eropa pada waktu itu yang dipengaruhi semangat laissez faire yang memberikan kesetaraan serta hak yang sama dalam bermasyarakat. Oleh karena itu, menurut Van den Bosch, dalam situasi ekonomi negara yang buruk, sebaiknya pemerintah melupakan paham laissez faire dan memilih sistem alternatif yang memberikan jalan keluar dari keterpurukan itu. Anggap saja koloni itu sebagai sebuah perusahaan yang harus menguntungkan pemiliknya, yaitu dengan cara memproduksi komoditi (pertanian) ekspor yang sangat laris di pasaran dunia.
Pada awalnya gagasan itu banyak ditentang karena tidak sesuai dengan "jiwa zaman" yang berlandaskan laissez faire. Selain itu, Pemerintah Belanda tidak memiliki dana untuk membiayai proyek pertanian tersebut. Akan tetapi, setelah Van den Bosch menjelaskan gagasannya secara terperinci, Pemerintah dan Parlemen Belanda akhirnya mendukungnya. Maka, STP pun mulai "disosialisasikan" di Jawa pada 1929 dan secara resmi dijalankaft sejak 1830 seiring pengangkatan diri Van den Bosch sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1830-34) menggantikan Leonard Pierre Joseph Burggraaf du Bus Gisignies (1826-30) yang telah berakhir masa jabatannya. Seperti pada Preangerstelsel, konsep dasar Cu/ftvursfe/se/diadopsi dari sistem" verplichten en leverantie" yang pernah dijalankan VOC serta memanfaatkan tradisi lokal yang menganggap raja sebagai "pemilik tanah."
Usulan John Dean tentang pembentukan bank escompto di Hindia seakan-akan melengkapi rencana pelaksanaan STP. Para pengambil keputusan di Den Haag menilai kedua usulan itu memiliki keterkaitan yang saling menguntungkan sebab, dalam pelaksanaannya kelak, STP akan memerlukan jasa layanan perbankan. Oleh karena itu, ketika tiba di tangan raja, usulan tersebut langsung disetujui.
Rencana pembentukan lembaga perbankan itu semakin jelas setelah Raja Willem I menerbitkan oktroi untuk mendirikan De Nederlandsche Oost-lndische Bank. Dalam penjelasannya, raja mengharapkan agar bank yang akan didirikan dapat membantu para pedagang di Hindia Belanda. Akan tetapi, rencana itu sempat terganggu oleh meletusnya peristiwa Perang Diponegoro-yang juga disebut Java Oorlog atau Perang Jawa. Perang ini memakan biaya yang sangat besar sehingga pemerintah Hindia Belanda memaksa Sultan Yogyakarta menanggung seluruh biaya untuk mengatasi perang tersebut.